Tradisi dan Praktek Ekonomi Pada Masa Rasulullah Saw


  Tradisi dan Praktek Ekonomi Pada Masa Rasulullah Saw
a.       Kegiatan ekonomi bangsa Arab sebelum Islam
Jauh sebelum kedatangan Islam, Bangsa Arab telah terkenal dengan kehidupan perniagaannya. Kondisi wilayah Jazirah Arab dan sekitarnya yang didominasi oleh padang pasir, pegunungan yang tandus dan penuh dengan bebatuan tampaknya menjadi alasan utama mayoritas penduduk Arab untuk memilih perniagaan sebagai sumber pencaharian mereka.
Sementara itu, mayoritas penduduk kota Yatsrib (Madinah) memilih bercocok tanam, disamping pengrajin besi dan berniaga, sebagai sumber utama mata pencaharian mereka. Hal ini ditunjang oleh kondisi daerah tersebut yang memiliki tingkat kelembaban dan curah hujan yang cukup, sehinngga menjadikannya daerah yang subur.
b.      Praktek dan kebijakan ekonomi Rasulullah saw
·        Periode Mekah; Nabi Muhammad saw sebagai seorang pedagang.
Seperti anggota suku Quraisy lainnya, Muhammad saw. Menekuni dunia perdagangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada usia 12 tahun, ia ikut serta dalam perjalanan dagang ke Syiria bersama pamannya Abu Thalib. Setelah menginjak dewasa dan menyadari bahwa pamannya berasal dari keluarga besar namun berekonomi lemah, Muhammad saw mulai berdagang sendiri pada taraf kecil dan pribadi di kota Mekah.
Dalam melakukan usaha dagangya, Muhammad saw. menggunakan modal orang lain yang berasal dari janda kaya dan anak yatim yang tidak mampu menjalankan modalnya sendiri. Dari mengelola modal tersebut ia mendapat upah atau bagi hasil sebagai mitra. Kepiawaian dalam berdagang yang disertai dengan reputasi dan integritas yang baik membuat Muhammad saw dijuluki Al-‘Amin (terpercaya) dan Ash-Shiddiq (jujur) oleh penduduk Mekah yang berimpikasi pada semakin banyaknya kesempatan berdagang dengan modal orang lain.
Setelah menikah dengan Khadijah, Muhammad saw tetap mejalankan usaha perdagangannya. Ia menjadi menejer sekaligus mitra dalam usaha istrinya. Perjalanan dagang beberapa kali diadakan keberbagai pusat perdagangan dan pekan dagang di Semenanjung Arab dan negeri-negeri di perbatasan Yaman, Bahrain, Irak, dan Syiria. Muhammad juga terlibat dalam urusan dagang yang besar di festival dagang Ukaz dan Dzul Majaz selama musim haji. Pada musim lain, ia sibuk mengurus perdagangan grosir di pasar-pasar kota Mekah.
·        Periode Madinah; Muhammad saw sebagai seorang kepala negara.
Setelah mendapat perintah dari Allah SWT, Nabi Muhammad saw berhijrah ke Yatsib (Madinah). Di sana Ia disambut dengan hangat oleh penduduk kota tersebut dan diangkat menjadi pemimpin mereka. Berbeda dengan periode Mekah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode Madinah. Ajaran Islamyang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun dikota ini. Nabi Muhammad saw mempunyai kedudukan sebagai kepala negara, disamping sebagai pemimpin Agama.
/Tradisi ekonomi pada masa Rasulullah SAW.
Jauh sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab telah terkenal dengan kehidupan perniagaannya dimana pada saat itu dalam melakukan perniagaan bangsa Arab menerapkan system riba. Dan setelah dating masa pemerintahan Rasulullah saw maka system ribawi tersebut dihapuskan secara totalitas, selain itu ada beberapa kebijakan yang ditetapkan Rasulullah saw baik yang bersifat fiscal seperti pendirian Baitul Mal dan menerapkan system ekonomi secara bagi hasil atau yang biasa dikenal dengan mudhArabah, muzara’ah.
Rasulullah Saw juga meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, yaitu: Membangun Masjid sebagai Islamic Centre, Menjalin ukhwwah Islamiyyah antara, kaum muhajirin dengan kaum anshar, Menjalin kedamaian dalam Negara, Mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya, Membuat konstitusi Negara, Menyusun system pertahanan Negara, Meletakkan dasar-dasar keuangan Negara.

Tradisi ekonomi pada pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidin
Pada pemerintahan khulafa al-Rasyidin pada dasarnya meneruskan sitem dan kebiasaan yang telah diterpkan oleh Rasulullah saw serta melakukan beberapa pengembangan lain, pada masa ini yang lebih menonjol adalah pengembangan dibidang pajak, zakat dan pendistribusian pendapatan Negara yang diperoleh dari pajak dan zakat tersebut.
Pada masa khalifa al-Rasyidin lembaga Baitul Mal pertama kali memiliki bangunan sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan Negara yang berpusat di Arab dan segera menyebar cabang-cabang di daerah sekitar Arab.selain itu pada masa ini pula nilai mata uang Arab di sesuaikan bahkan Negara Islam telah berhasil mencetak uang koin untuk Negara Islam.

Diantara periode –periode pemerintahannya tersebut, Dinasti Abbasiyah mencapai masa keemasan pada periode pertama. Pada masa ini, secara politik, para khalifah benar-benar tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai puncaknya. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Beberapa tradisi dan praktek yang di lakukan oleh Bani Umayyah pada masa daulah al-Islam, yaitu[8]:
1.      Ketika diangkat menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan rakyat dan mengumumkan serta menyerahkan seluruh harta kekayaan pribadi dan keluarganya yang diperoleh secara tidak wajar kepada baitul maal, seperti; tanah-tanah perkebunan di Maroko, berbagai tunjangan yang di Yamamah, Mukaedes, Jabal Al Wars, Yaman dan Fadak, hingga cincin berlian pemberian Al Walid.
2.      Selama berkuasa beliau juga tidak mengambil sesuatupun dari baitul maal, termasuk pendapatan Fai yang telah menjadi haknya.
3.       Memprioritaskan pembangunan dalam negeri. Menurutnya, memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan negeri-negeri Islam adalah lebih baik daripada menambah perluasan wilayah. Dalam rangka ini pula, ia menjaga hubungan baik dengan pihak oposisi dan memberikan hak kebebasan beribadah kepada penganut agama lain.
4.      Dalam melakukan berbagai kebijakannya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih bersifat melindungi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan.
5.      Menghapus pajak terhadap kaum muslimin, mengurangi beban pajak kaum Nasrani, membuat aturan takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa,
6.      Memperbaiki tanah pertanian, menggali sumur-sumur, pembangunan jalan-jalan, pembuatan tempat-tempat penginapan musafir, dan menyantuni fakir miskin. Berbagai kebijakan ini berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat.
7.      Menetapkan gaji pejabat sebesar 300 dinar dan dilarang pejabat tersebut melakukan kerja sampingan. Selain itu pajak yang dikenakan kepada non-muslim hanya berlaku kepada tiga profesi, yaitu pedagang, petani, dan tuan tanah.

B.     ABBASIYAH
Bani Abbasiyah meraih tampuk kekuasan Islam setelah berhasil setelah menggulingkan pemerintahan umayyah pada tahun 750 H. para pendiri ini adalah keturunaan abbas. Pada masa ini pemerintahan Islam dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad. Dinasti ini berkuasa selama lima abad. Pada masa abbasiyah mencapai masa ke emasan pada priode pertama.
Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu di tandai dengan beredarnya Sakk (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan metransfer uang.[9]  
1.      Abu Ja’Far Al-Manshor
Ia memerintah hanya dalam waktu singkat. Tetapi pada pemerintahanya dia lebih banyak melakukan konsolidasi dan penerbitan administrasi birokrasi. Ia menciptakan tradisi baru dibidang pemerintahan dengan mengangkat seorang wazir sebagai coordinator depertemen. Ia juga membentuk lembaga-lembaga protol Negara, sketaris Negara, kepolisian Negara, serta membenahi angkatan bersenjata dan membentuk lembaga kehakiman Negara.
2.     Al-Mahdi
Ia banyak menerapkan kebijakan yang menguntungkan rakyat banyak. Seperti membangun tempat-tempat persinggahan para musafir haji, pembuatan kolam-kolam air bagi para khafilah dagang beserta hewan bawaanya, dan memperbsiki , memperbanyak jumlah telaga dan perigi, dia juga mengembalikan harta yang dirampas oleh ayahnya kepada pemiliknya masing-masing. Perekonomian Negara mulai meningkat dengan peningkatan sector pertanian melalui irigasi, dan, pertambaangan. Disamping itu jalur transit perdagangan antara timur dan barat juga banyak menghasilkan kekayan, karena basrah menjadi pelabuhan yang penting.

3.      Harum Al-Rasyid
Pada saat pemerintahan di kuasai oleh Harum Al-Rasyid, pertumbuhan perekonomian berkembang dengan pesat, dan kemakmuran d dalam dinasti Abbasiyah, dan mencapai puncaknya bpada saat ini. Dia juga melakukan deservikasi sumber pendapatan Negara. Ia membangun Baitul Mal untuk mengurus keuangan Negara dengan menunjukseseorang wazir yang mengepalai beberapa diwan seperti: diwan al-khazanah, diwan al-azra, diwan khazaim as-siaab. Sumber pendapatan pada masa ini adalah bkharaj, jizyah, zakat, fa’i, ghanimah, usyr, dan harta lainya seperti wakaf, sedekah, dan harta warisan orang-orang yang tidak mempunyai ahli waris. Dia juga sangat memperhatikan perpajakan. Ia juga menunjuk Qadi Abu Yusuf untuk menyusun sebuah kitap pedoman mengenai keuangan Negara secara syariah. Dalam pemungutan kharaj, para khalifah Abbasiyah melakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Al-Muhasabah

2. Al-Muqasamah
3. AL-Muqatha’ah


bahwa sasaran utama yang dicari dalam tulisan ini adalah mengkaji dan mencari dimensi ekonomi pemikiran Abu yusuf dalam kitab al-kharaj. Berdasar pada uraian di atas, maka tulisan ini dapat disimpulkan bahwa model pemikiran Abu Yusuf adalah berbentuk pemikiran ekonomi kenegaraan, mengupas tentang kebijakan fiskal, yang berkenaan dengan pendapatan negara. Hal ini terlihat dari muatan pemikirannya yang memeta mekanisme pendapatan negara (income), pengeluaran (ekspenditure) yang terinci dalam Insidental Income, permnen income dan beberapa aspek yang erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, terutama dalam masalah perdagangan, regulasi harga dan pengaturan sumber daya energi.
Namun demikian, kita mengakui bahwa pemikirannya dalam al-kharaj tidaklah merupakan survei lengkap dalam kajian ekonomi, tetapi upayanya yang mengedepankan maslahah ‘ammah sebagai visi utama pemikiran ekonominya dalam upaya menciptakan keseimbangan ekonomi pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Hal ini merupakan bagian esensial dalam mengarahkan ekonomi yang lebih etis, manusiawi dan berkeadilan.

Konsep maslahah ‘ammah seperti ini jika dikembangkan dalam wacana ekonomi masa sekarang dan mendatang adalah sangat memungkinkan. Hal ini nampak, selain dari struktur bangunan pemikirannya yang berangkat pada pengembangan moral etis agamis, juga terlihat dari filterisasi at-Tawazun, al-ikhtiyar, al-‘adalah, al-Ikhsan, yang memungkinkan etika ekonomi bergerak lebih leluasa dan ideal dalam dinamika sosio cultural masyarakat tanpa harus meninggalkan bagian normatifitas transendental ajaran agama.
Pemikiran ekonomi Abu Yusuf dalam kitab al-kharaj di atas jika ditarik dalam konteks kekinian dalam upaya pembenahan terhadap krisis ekonomi Indonesia yang mengarah pada krisis fundamental ini, kiranya akan memberi kontribusi yang positif dan berharga dalam upaya mempertautkan antara agama dan ekonomi, disamping perlunya rekontruksi dan elaborasi dengan beberapa pemikiran lain, terutama yang berkaitan dengan budaya, politik, dan etika modern. Rekontruksi kearah itu kiranya perlu memperhatikan beberapa aspek yang erat kaitannya dengan kebijakan etis.

  Konsep teori yang dikemukakan Imam Al-Syaibani

Pemikiran ekonomi Al-Syaibani dapat dilihat pada Kitab al-Kasb yaitu sebuah kitab yang lahir sebagai respon beliau terhadap sikap Zuhud yang tumbuh dan berkembang pada abad kedua Hijriyah. Secara keseluruhan, kitab ini mengungkapkan kajian mikro ekonomi yang bekisar pada teori Kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya serta pedoman prilaku produksi dan konsumsi. Kitap ini merupakan kitab pertaman di dunia Islam yang membahas permasalahan ini. Dr. al-Janidal menyebut al-Syaibani sebagai salah satu perintis ilmu ekonomi dalam islam.
Hal yang dibahas Al-syaibani antara lain:

1)                  Al-Kasb (kerja)

Kerja merupakan hal yang paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Allah telah menjadikan dunia ini dengan berbagai ciptaannya temasuk manusia. Manusia diciptakan sebagai khalifah dan bekerja keras untuk memenuhi kehidupanya. Dan manusia disuruh menyebar untuk mencari karunia Allah. Menurut Al-Syaibani al-Kasb (kerja) yaitu sebagai mencari perolehan harta melaui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas ini termasuk dalam aktivitas produksi.

Dalam ekonomi islam berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Perbedaannya adalah kalau dalam ekonomi islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atua jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat erat terkait dengan halal haramnya sesuatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Maksudnya aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi. Dalam memproduksi, kita harus mengetahi apa produk yang akan diproduksi, bagaimana cara memproduksi barang tersebut, apa tujuan dari produk yang diproduksikan, dan kepada siapa produk akan dituju. Itu semua harus kita ketahui agar terhindar dari produksi yang dilarang oleh islam.






Produksi barang atau jasa dalam ilmu ekonomi yaitu barang atau jasa yang mempunyai utilitas (nilai guna). Dalam isalm, barang dan jasa mempunyai nilai guna jika dan hanya mengandung kemaslahatan. Imam asy-Syatibi mengatakan kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara ilmu unsur pokok kehidupan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan demikian seorang muslim bermotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahat tersebut.

Konsep maslahat merupakan kosep yang objektif terhadap prilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid) syari’ah yaitu memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Sedang kosep ekonomi konvensional menganggap bahwa suatu barang dan jasa mempunyai nilai guna selama masih ada orang yang menginginkannya. Maksudnya dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barabg atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subyektif. Produksi secara konvensional hanya memikirkan untuk keuntungan di dunia saja tanpa menghiraukan akhirat. Dan tidak tau halal atau haramkah produk yang diproduksi tersebut.

Dalam pandangan islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban akan ‘Imarul Kaum, yaitu menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Asy-Syaibani menegaskan kerja merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah AWT dan karenanya hukum bekerja adalah wajib. Ada dalil-dalil yang mengaskannya, yaitu:

                                       i.              Firman Allah QS. Al-Jumu’ah ayat 10
Artinya: “apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

                                     ii.              Hadits Rasulullah Saw,
“ Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim.”


                                   iii.              Amirul Mukminin Umar ibn al-Khattab r. a.
Lebih mengutamakan derajat kerja daripada jihad. Sayyidina Umar menyatakan, dirinya lebih menyukai meninggal pada saat berusaha mencari sebagian karunia Allah Swt di muka bumi daripada terbunuh di medan perang, karena Allah Swt mendahulukan orang-orang yang mencari sebagian karunia-Nya daripada para mujahidin melalui firman-Nya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah….”( QS. Al-Muzammil: 20).

2)                  Kekayaan dan Kefakiran

Menurut Al Syaibani sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka.

Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi meminta-minta (kafalah). Di sisi lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya digunakan untuk kebaikan.  

3)                  Klasifikasi Usaha-usaha perekonomian

Menurut Al-syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Menurut para ulama tersebut usaha jasa meliputi usaha perdagangan. Diantara keempat usaha perekonomian tersebut, Al-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari usaha lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksakan berbagai kewajibannya. Dalam perekonomian, pertanian merupakan suatu usaha yang mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Allah telah menyediakan sawah dan ladng untuk bercocok tanam. Dan makanan yang kita makan merypakan hasil dari pertanian.


Dari segihukum, Al-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan dan jika tidak seorang pun yang menjalankannya, tata roda perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam kesengsaraan. Maka dari itu kita disuruh untuk bekerja dan berusa di muka bumi ini.


Barbagai usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggunganya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidak akan terpenuhi, begitu pula orang yang ditanggungnya, sehingga akan menimbulkan akan kebinasaan bagi dirinya dan tanggungannya.


4)                  Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi

Al Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu makan, minum ,pakaian, dan tempat tinggal. Para ekonom yuang lain mengatakan bahwa kempat hal ini adalah tema ekonomi.

5)                  Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan

Al-syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan manusia                          berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena itu, Allah SWT memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, Allaha tidak akan mempersulit makhluknya yang mau berusaha tetapi akan memberikan jalan atau petunjuk untuk dirinya. sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya

Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali
Kita ketahui bersama bahwa Imam al Ghazali hidup pada masa pemerintahan daulah Abbasiyah, persisnya pada masa dinasti Salajikah (saljuk), yang mana pada masa pemerintahan daulah Abbasiyah Islam telah mencapai masa puncak keemasannya. Kemajuan pada bidang politik, ekonomi, dan pengetahuan yang luar biasa bisa dikatakan kemajuannya tidak pernah ada yang menandingi oleh kerajaan manapun di dunia ini. Jadi bisa dikatakan kondisi perekonomi pada masa Imam al Ghazali sangat baik dan seimbang. Dikatakan baik dan seimbang bukan tidak ada celah dan kelemahan dalam perekonomian barter yang mana terjadi ketidak sesuaian keinginan antara dua pihak. Lebih jauh Imam al Ghazali mengatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian barter, seseorang memerlukan usaha yang keras. Pelaku ekonomi barter harus mencari seseorang yang mempunyai keinginan yang sama dengannya. Para pelaku ekonomi barter tersebut juga akan mendapatkan kesukaran dalam menentukan harga, khususnya ketika terjadi keragaman barang dagangan, pertambahan produksi, dan perbedaan kebutuhan. Di sinilah uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang, sekalipun dalam perekonomian barter. Dengan demikian, dalam pandangan al Ghazali, uang hanya berfungsi sebagai satuan hitung dan alat tukar. Ia mengatakan bahwa zat uang itu sendiri tidak dapat memberikan manfaat. Dan ini berarti bahwa uang bukan merupakan alat penyimpan kekayaan.
Pemikiran ekonomi Al-Ghazali didasarkan pada pendekatan tasawuf karena pada masa hidunya, orang-orang kaya berkuasa dan sarat prestise sulit menerima pendekatan fiqh dan filosofis dalam mempercayai hari pembalasan. Corak pemikiran Ekonominya dituangkan dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, al-Mustasfa, Mizan Al-a’mal, dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.


v MASLAHAH
Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial Islami”. Tema yang menjadi inti seluruh karyanya adalah konsep Maslahah, yakni sebuah konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan yang erat antara                  m m mm   m                                 , , ,,,,,,,,, ,  individu dan masyarakat.
Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan atau Maslahah dari suatu masyarakat tergantung kepada Maqashid Syariah, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, harta.
Al Ghazali menyatakan bahwa kebutuhan hidup manusia terdiri dari tiga, kebutuhan primer (darruriyyah), sekunder (hajiat), dan kebutuhan mewah (takhsiniyyat).


v EVOLUSI PASAR
Pasar menurut Al-Ghazali merupakan tempat bertemunya antara dua pihak yang saling berkepentingan untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Pasar terbentuk karena kesulitan yang dihadapi saat transaksi dilakukan dengan menggunakan sistem barter.
Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari ‘’hukum alam’’ segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi.
Al ghazali juga memperkenalkan teori permintaan dan penawaran; adanya penurunan harga ketika ada penambahan atas suatu barang atau karena tidak adanya pembeli. Ghazali juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastis, karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok. 

          Imam Ghazali dan juga para pemikir pada zamannya ketika membicarakan harga biasanya langsung mengaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang. Dan keuntungan merupak motivasi bagi seorang pedagang, dengan penekanan keuntungan tersebut tidak berlebihan (keuntungan yang wajar)


v EVO        LUSI UANG DAN PERMASALAHAN BARTER
Al-Ghazali menyadari bahwa salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah uang. Sejarah perkembangan uang menurut Al-Ghazali, dimulai dari barter (al-Mufawwadah) hingga pada penggunaan logam mulia, yaitu: emas (al-Dzahab) dan Perak (al-Fidzah).
1. Sistem Barter (barter system)
Barter (al-Mufawwadah) dilakukan dengan cara langsung menukarkan barang dengan barang. Melakukan kegiatan tukar menukar barang dengan jalan “tukar ganti” (Muqayyadah), yakni memberikan suatu barang yang dibutuhkan orang lain dan untuk mendapatkan barang gantian yang dibutuhkan. Sebelum pertukaran dengan uang berkembang , barang-barang diperdagangkan dengan barter ini.
Menurut Al-Ghazali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan kegiatan bisnisnya melalui transaksi jual beli. Ia mengakui bahwa dulu perdagangan atau jual beli telah dikenal banyak orang, akan tetapi cara sederhana yang mereka pergunakan adalah dengan cara saling tukar menukar barang dengan barang yang dimiliki oleh orang lain. Karena saat itu mata uang tidak ada, yakni seperti halnya mata uang sekarang.
Pada dasarnya system barter terbatas pada beberapa jenis barang saja. Tetapi lama kelamaan setelah masyarakat mengenal spesialisasi, cara barter semakin tidak sesuai lagi, karena sulit sekali untuk menemukan pihak lain yang kebetulan sekaligus, sehingga system barter tersebut perlu direvisi, Al-Ghazali kemudian menganjurkan membentuk supaya ada lembaga keuangan yang kemudian mengurus tentang pembuatan dan percetakan uang tersebut. Dan lembaga keuangan sekaligus pencetak uang yang disebut Dar al-Darb (lembaga percetakan). Berfungsi sebagai aktivitas moneter terpusat, guna mengefektifkan fungsi-fungsi administrasi negara.
2. Uang Barang (Commodity Money)
Selanjutnya al-Ghazali juga menyamakan antara menggunakan sistem barter dengan transaksi menggunakan uang barang. Karena menurut beliau pakaian, makanan, binatang, dan barang-barang lainnya dapat dipertukarkan sama halnya dengan fungsi uang. Berdasarkan hal ini al-Ghazali menyimpulkan bahwa uang barang adalah barang-barang yang dipergunakan dalam transaksi menggunakan sistem barter.
3. Uang Logam
Berdasarkan pemaparan no 1 dan 2 di atas, kita bisa melihat bahwa al-Ghazali dengan teori evolusi uangnya dapat menggambarkan dengan jelas mengenai berlangsungnya peralihan dari sitem perekonomian barter menuju perekonomian yang menggunakan sistem mata uang logam, dalam hal ini dinar dan dirham

v RIBA DAN PERTUKARAN UANG

Bagi al-Ghazali, larangan riba yang seringkali dipandang sama dengan bunga adalah mutlak. Terlepas dari alasan dosa, argumen lainnya yang menentang riba adalah kemungkinan terjadinya eksploitasi ekonomi dan ketidakadilan dalam transaksi. Al-Ghazali tidak hanya mengharamkan riba, melainkan juga menganjurkan untuk menjauhin dan menghindari praktek trersebut. Menurut beliau, riba yang harus diwaspadai dalam transaksi bisnis adalah riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah adalah kelebihan yang diberikan atas keterlambatan seseorang dalam membayar utangnya kepada orang lain. Adapun yang dimaksud dengan riba fadl adalah tambahan yang dilakukan dalm suatu transaksi jual beli, dimana salah satu pihak menambahkan barang yang akan ditukarnya karena berbeda jenis antara kedua barang tersebut. Riba fadl ini biasanya terjadi dalam transaksi jual beli yang menggunakan sistem barter. Mengenai pertukaran uang dalam istilah al-Ghazali disebut sharf erat kaitannya dengan masalah riba. Al-Ghazali menyebutkan bahwa siapa saja yang melakukan transaksi pertukaran uang yang di dalamnya terdapat unsur riba, maka orang tersebut telah mengingkari nikmat Allah yang diberikan padanya dan telah berbuat zalim. Beliau hanya memperbolehkan pertukaran uang yang sejenis dan sama nilainya.

v PENIMBUNAN DAN PEMALSUAN UANG

Selain melarang praktek riba, al-Ghazali juga melarang praktek penimbunan dan pemalsuan uang. Hal itu dikarenkan bila uang ditimbun maka yang terjadi adalah kelangkaan produktivitas dan menimbulkan lonjakan harga yang pada akhirnya akan melumpuhkan roda perekonomian. Begitu pula dengan praktek memalsukan uang. Menurut al-Ghazali mencetak dan mengdarkan uang palsu lebih berbahaya ketimbang mencuri uang sebesar seribu dirham, karena perbuatan mencuri adalah suatu dosa yang hanya dicatat sekali, sedangkan dosa dari perbuatan memalsukan dan mengedarkan uang palsu adalah berlipat ganda , setiap kali uang tersebut dipergunakan.

v AKTIFITAS PRODUKSI

Al-Ghazali mengelompokkan aktifitas produksi dalam tiga kategori, yaitu :
1) Industri dasar, yang termasuk dalam kategori ini adalah semua industri yang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup manusia (pertanian, perindustrian, dll)
2) Akitifitas penunjang, yaitu semua industri yang mendukung lancarnya kinerja industri dasar (industri baja, eksplorasi dan pengembangan sumber daya alam)
3) Aktifitas pelengkap, yaitu semua jenis industri yang melengkapi dari dua jenis industri di atas, seperti penggilingan.


Ø IBNU HAZM

Ø IBNU TAIMIYAH

• Biografi Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah memiliki nama lengkap Taqi al-Din Ahmad bin Abd. Al-Halim bin Abd. Salam bin Taimiyah ini lahir di Harran, 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ayahnya bernama Abdal-Halim, pamannya Fakhruddin dan kakeknya bernama Majduddin. Ibnu Taimiyah dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama besar Mazhab Hambali.
Di usianya yan g masih sangat muda, Ibnu Taimiyah berhasil menamatkan sejumlah mata pelajaran dalam pendidikannya seperti tafsir, hadis, fiqih, matematika, dan filsafat. Guru Ibnu Taimiyah be///rjumlah 200 orang, diantaranya adalah Syamsudin al-Maqdisi, Ibn Abi Al-Yusr, al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir, Yahya bin al-Shairafi, Ahmad bin abu al-Khair.
Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya (Syamsudin Al-Maqdisi) untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat yang bersamaan, ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Ibnu Taimiyah pernah ditawari Jabatan Kepala Kantor Pengadilan oleh Pemerintah namun jabatan tersebut di tolak oleh Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah menghasilkan banyak karya ilmiah (diperkirakan berjumlah 300 –500 buah karya ilmiah) yang menguraikan tentang hukum, ekonomi, filsafat dan lain sebagainya. Pembahasannya mengenai prinsip-prinsip masalah ekonomi tertuang dalam beberapa buku, yakni :
- Majmu’ fatawa Syaikh al-Islam
- Al-Hisbah fi al Islam (Lembaga Hisbah dalam Islam). Buku ini banyak membahas mengenai pasar dan intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi.
- Al-Siyasah al Syar’iyyah fi Ishlah al Ra’I wa al Ra’iyah (Hukum Publik dan privat dalam Islam). Buku ini membahas masalah pendapatan dan pembiayaan publik.
Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah makro ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.
Ibnu Taimiyah terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang yang handal . Hingga akhirnya beliau meninggal dunia pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qaidah 728 H)
• Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah

v MEKANISME PASAR

Ibnu Taimiyah memiliki pandangan yang jelas mengenai pasar bebas, dimana suatu harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Jika permintaan naik dan penawaran turun, maka harga naik, begitupun jika yang terjadi sebaliknya.
Pada masa beliau terdapat indikasi bahwa kenaikan harga yang terjadi dianggap sebagai akibat dari kedzaliman para pedagang yang mendorong terciptanya ketidaksempurnaan pasar. Namun, beliau berpendapat bahwa pandangan tersebut tidak selalu benar, karena bisa saja alasan naik turunnya harga disebabkan oleh kekuatan pasar.
Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber penawaran yakni produksi domestik dan impor. Untuk menggambarkan permintaan terhadap suatu barang, beliau menggunakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti keinginan atau hasrat terhadap sesuatu yakni barang (selera). Dalam permintaan, selera merupakan salah satu faktor yang penting namun ada faktor penting lainnya terkait dengan permintaan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah yakni pendapatan .
Besar kecilnya kenaikan harga tergantung pada besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai dengan aturan, maka kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Ilahiyah (natural).
Ibnu Taimiyah mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yakni :
a. Ar- Raghabah (keinginan) atas barang-barang berbeda dan seringkali berubah. Hal ini tentu dipengaruhi oleh limpahan atau langkanya suatu barang. Semakin langka semakin ia diminati oleh masyarakat.
b. Jumlah orang yang meminta. Semakin banyak orang yang meminta dalam satu jenis barang dagangan, maka semakin mahal harga barang.
c. Kuat atau lemahnya permintaan. Kebutuhan tinggi dan kuat, harga akan naik lebih tinggi ketimbang jika peningkatan kebutuhan itu kecil ayau lemah.
d. Kualitas pembeli. Jika pembeli adalah orang kaya dan terpercaya dalam membayar utang, harga yang diberikan lebih rendah.
e. Jenis uang yang digunakan. Harga akan lebih rendah jika pembayaran dilakukan dengan menggunakan uang yang umum dipakai (naqd ra’ij) daripada uang yang jarang dipakai.
f. Besar kecilnya biaya yang dilakukan oleh produsen (penjual). Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk produksi akan mempengaruhi harga jual barang.
g. Tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal diantara kedua belah pihak. Harga suatu barang yang telah tersedia dipasaran lebih rendah daripada harga suatu barang yang belum ada dipasaran.


v MEKANISME HARGA
Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik menarik antara konsumen dan produsen, baik dari pasar Output (barang) ataupun input (faktor-faktor produksi). Sedangkan harga adalah sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu.
Meskipun penggunaan istilah ”harga yang adil” sudah ada sejak awal kehadiran Islam, tampaknya Ibnu Taimiyah merupakan orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, beliau seringkali menggunakan dua istilah, yakni:
- Kompensasi yang setara/adil (’Iwad al-Mitsl) yakni penggantian yang sama yang merupakan nilai harga sepadan dari sebuah benda menurut adat kebiasaan.
- Harga yang setara/adil (tsaman al-Mitsl) yakni nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dan diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.
Beliau membedakan antara dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah menganggap harga yang setara sebagai harga yang adil. Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensasi yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum. Beliau menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi.
Bagi Ibnu Taimiyah, kompensasi yang setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.


v REGULASI HARGA
Regulasi harga adalah pengaturan terhadap harga-harga barang yang dilakukan pemerintah. Regulasi bertujuan untuk memelihara kejujuran, menegakkan keadilan dan kemungkinan penduduk bisa memenuhi kebutuhan pokoknya.
Ibnu Taimiyah membedakan dua tipe pengaturan (regulasi) harga, yakni:
- Regulasi harga yang tidak adil dan cacat hukum.
- Regulasi harga yang adil dan sah menurut hukum
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa penetapan harga yang adil boleh dilakukan pemerintah ketika terjadi ketidaksempurnaan pasar (misalnya karena adanya manipulasi, penimbunan barang atau monopoli perdagangan yang menyebabkan harga-harga naik). Akan tetapi, jika naik turunnya harga suatu komoditi berjalan secara alamiah dalam kondisi yang normal, maka pemerintah sama sekali tidak memiliki otoritas untuk menetapkan harga pada kondisi seperti ini. Menurutnya, sebelum pemerintah menerapkan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait.


v UANG DAN KEBIJAKAN MONETER
a) Karakteristik dan Fungsi Uang
Ibnu Taimiyah menyatakan dua fungsi utama uang yakni sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda (alat tukar).
Ibnu Taimiyah menentang segala bentuk perdagangan uang karena hal ini telah mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya. Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang lain, pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul).
b) Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang terjadi penurunan nilai mata uang dan pencetakan uang yang sangat banyak. Beliau menyatakan bahwa, penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar dari nilai intrinsiknya dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli barang-barang berharga dari masyarakat, akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta menhasilkan inflasi dan pemalsuan mata uang. Beliau menentukan bahwa biaya setiap pencetakan mata uang harus diambil dari perbendaharaan negara (Baitul mal).
c) Mata Uang yang Buruk akan Menyingkirkan Mata Uang yang baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaraan. Pernyataan tentang konsep ini diungkapkan Ibnu Taimiyah 300 tahun sebelum Sir Thomas Gresham (1519-1579) mengemukakan rumusannya yang terkenal sebagai Gresham’s Law.
Ibnu Taimiyah merumuskan konsep ini ketika Sultan Kamil Ayyubi (dari Bani Mamluk) memperkenalkan mata uang baru dari tembaga yang disebut fulus. Berbeda dengan dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak, pencetakan fulus relatif lebih mudah dilakukan karena tembaga lebih mudah di dapat. Sayangnya, pemerintah terlena dengan kemudahan pencetakan uang baru tersebut. Keadaan memburuk ketika Sultan Kitabagha dan Zahir Barquq mulai mencetak fulus dalam jumlah yang sangat besar dengan nilai nominal melampaui kandungan tembaganya. Pada saat fulus digunakan secara luas, dirham hilang dari peredaran dan inflasi membumbung.